Jumat, 20 November 2009

Dunia pengembaraaan

Kita hidup di dunia ini seperti mampir (behenti sejenak) untuk minum seteguk dua teguk air, begitu perumpamaannnya. Kita adalah seorang pengembara yang menempuh perjalanan jauh, menempuh takdir dan kesejatian masing-masing. Seperti laiknya pengembara, dalam perjalanannya mereka membawa bekal. Ada yang sekedar untuk cukup makan dan minum. Namun tak kurang banyak pengembara menyia-nyiakan pengembaraannya dan teledor akan apa yang sesungguhnya ia cari.

Apa yang pengembara cari di dunia ini? Ada yang mencari impian masa kecilnya. Bayangan keindahan tempat lain. Keramahan penduduk tempat lain. Atau, sekedar pencarian diri sendiri, sebagai kontemplasi.

Al Ghazali pernah berkata, untuk menjadi seorang pemimpin yang tangguh setidaknya pernah mengembara. Karena apa, dengan pengembaraan itulah, diri kita dilatih menjadi mandiri, menjadi kuat, menjadi tabah dengan tempaan hidup yang keras, dan paling penting melatih hati agar lebih paham berbagai masalah hidup dari pengalaman dan kasus yang dijumpai selama pengembaraan.

Maka tak heran, dalam sejarah kenabian, banyak nabi menjadi penggembala yang mengembara mencari rumput-rumput hijau, yang bertemu dengan berbagai bangsa-bangsa di belahan bumi yang lain. Bahkan, Nabi Muhammad Saw (semoga shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada beliau beserta keluarga, sahabat dan umatnya sepanjang masa) di masa kecil beliau pernah mengembara bersama sang kakek. Di masa sebelum kenabian pun, beliau adalah seorang pengembara, yang berdagang dan berkenalan dengan barbagai suku di tempat lain. Dan peristiwa Isra' Mi'raj pun hakikatnya adalah pengembaraan yang hakiki.

Bagaimana dengan kita? Tentu bukan hanya pengembaraan secara fisik saja yang dapat kita mengerti. Lebih penting adalah pengembaraan hati, agar senantiasa hijrah, hati yang selalu berevolusi, hati yang selalu mengevaluasi dirinya sendiri. Tak heran, pengembaraan adalah proses penempaan hati. Begitu pula pengembaraan dalam hidup ini. Maka, untuk menjadi manusia bijak, kita harus berfokus pada hakikat pengembaraan kita. Dan jangan lalu memusatkan diri kepada pencarian di tempat singgah sementara, di dunia. Padahal tugas kita di dunia hanyalah mencari minum dan mendapatkan bekal sekedarnya agar dapat melanjutkan pengembaraan selanjutnya. Maka sungguh sesat orang yang sangat mencintai tempat hidupnya, sebab sungguh diyakini ia akan susah melanjutkan pengembaraannya.

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Al-Imraan 3:14)

Kamis, 19 November 2009

Prinsip-prinsip Universal Toleransi Antar Umat Agama

Prinsip-prinsip toleransi agama ini, yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah, telah dimiliki Islam, maka sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh —atau pendeta dan sebagainya— berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. PERBEDAAN umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT. Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan SWT dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. *** Salah satu risalah penting yang ada dalam teologi Islam adalah toleransi antar penganut agama-agama yang berbeda. Risalah ini masuk dalam kerangka sistem teologi Islam karena Tuhan SWT senantiasa mengingatkan kepada kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat dan sebagainya. Dalam hal teologi, keragaman agama tentu menjadi titik fokus risalah toleransi ini. Toleransi adalah sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktel sosial, dapat dimulai dari sikap-sikap bertetangga. Karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antar penganut keagamaan dalam praktek-praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana. Seorang muslim yang sejati –atau tanda-tanda keimanan seseorang— , dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga. "Man Kأ¢na Yu'minu Billأ¢hi wal-Yawmil-أ¢khiri Fal-Yukrim Jأ¢rahu", barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya. Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik. Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, Tuhan SWT segera menegur beliau dengan menurunkan ayat, "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siap yang dikehendaki-Nya" (QS. 2 : 272). Maksudnya, kita tidak perlu untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan yang ada di dunia. Dengan turunnya ayat tersebut, Nabi SAW pun segera memerintahkan umat Islam untuk bersedekah jika mendapatkan orang non muslim sedang membutuhkan (Riwayat Ibnu Abأ® Hأ¢tim dari Ibnu 'Abbأ¢s RA). Sikap-sikap yang diajarkan dari Tuhan SWT kepada Nabi SAW tersebut wajib untuk dilakukan oleh umat Islam dalam bersikap kepada non muslim, termasuk kepada, misalnya, orang tua kita yang, mungkin, tidak seiman dengan kita. Asma RA, putri Abu Bakar RA, pernah menolak ketika ibunya, yang non muslim, mau menemuinya . Akan tetapi, ketika berita itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau memerintahkan Asma supaya menemui dan menghormatinya. Ketika Nabi SAW dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi SAW langsung berdiri, memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata, "Bukankah mereka orang Yahudi, Wahai Rasul?". Nabi SAW menjawab, " …tapi mereka manusia juga". Jadi, sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT. Sedangkan kita bermuamalah dari sisi kemanusiaan kita. *** Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun. Namun, untuk bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita. Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga –sebagai komunitas terkecil— kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas. Catatan-catatan ringan tentang aksi dan praktek toleransi tersebut di atas hendaknya tidak dipandang sebelah mata, sebab selama ini sikap-sikap intoleransi dan permusuhan, khususnya yang terjadi antar penganut agama, justru kebanyakan muncul dari kalangan elit atau tokoh masyarakat, dan jarang sekali yang muncul murni dari bawah. Berbagai kasus konflik antar agama yang terjadi, justru tak semuanya murni karena dorongan semangat permusuhan yang muncul untuk membela agama masing-masing. Dimensi-dimensi sosiologi dan antropologi yang mengitari masyarakat konflik tersebut harus mendapatkan perhatian dari kita. Sebab, kita akan terjebak untuk kesekian kalinya dengan berbagai kekhilafan-kekhilafan yang tak seharusnya terjadi, seperti sikap curiga dan sebagainya, yang diakibatkan oleh konflik-konflik tersebut. Padahal, sikap curiga mencurigai itu sendiri bukanlah sikap yang akan mampu menyelesaikan permasalahan kerukunan antar umat, melainkan justru akan menambah daftar konflik horisontal. Di sini pula letak kekurangan kalangan yang sering menyuarakan sikap-sikap toleransi agama. Suara-suara dan pemikiran itu, dalam pandangan penulis, bukan tidak tepat. Ia kurang bisa masuk dan meresap dalam masyarakat yang terlibat konflik karena kebutuhan murni masyarakat tersebut bukanlah konsep-konsep perdamaian dan hidup rukun, akan tetapi keadilan ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya. Belum lagi jika terbukti bahwa ketegangan antar umat beragama, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia, lebih dikarenakan permainan politik elit-elit yang berkuasa. Jika yang terakhir ini benar, atau mendekati kebenaran, maka problem kemasyarakatan kita bermuara kepada problem politik. Penulis bahkan meyakini bahwa masyarakat yang terlibat perang agama, baik di Indonesia atau di manapun, sejatinya juga menyadari akan prinsip-prinsip toleransi yang dikandung oleh agamanya masing-masing. Akan tetapi, mereka sedang disuguhi sajian-sajian yang menyeret mereka untuk meninggalkan kesadaran-kesadaran yang sebenarnya sangat kuat dalam dogma agama mereka masing-masing. *** Prinsip Toleransi Dalam Perspektif Islam Ketika kita sudah meyakini bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT. Prinsip toleransi antar umat beragama dalam perspektif Islam adalah "Lakum Dأ®nu-kum Wa Liya Dأ®nأ®", untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Prinsip tersebut adalah penggalan dari surat Al-Kأ¢firأ»n, di mana surat tersebut turun karena ajakan orang-orang Mekkah yang ingkar kepada kenabian Muhammad SAW untuk beribadah secara bergantian : orang-orang Mekkah bersama Nabi SAW beribadah secara agamanya, dan mereka bersedia untuk beribadah bersama Nabi SAW secara Islam. Atas dasar usulan ini, Nabi SAW mendapatkan konsepsi dari Tuhan SWT bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan Islam adalah Islam. Keduanya tak bisa dicampur-adukkan, tetapi tak harus menimbulkan pertikaian, karena urusan kebenaran dan petunjuk hanya kekuasaan-Nya. Ini adalah prinsip yang didasarkan kepada pengakuan keberagamaan kita sekaligus penghormatan kepada keberagamaan selain kita. Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung kebenaran agama kita dan agama selain kita, juga bukan sebaliknya, membenarkan agama kita sambil menyalahkan kepada agama lain. Dalam masa kehidupan di dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Menghilangkan kediktatoran, penindasan terhadap manusia, menolong kaum miskin dan sebagainya. Di sinilah letak ungkapan atau pemikiran yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan –secara hakekat— menyembah Tuhan yang sama. Seluruh agama mengajak kepada kebaikan di dunia, bersikap adil, berkasih sayang serta membantu yang memerlukan dan sebagainya, dan itulah nilai universal yang ada pada setiap agama. Di sini, setiap agama mengalami kesamaan. Sedangkan untuk urusan akhirat, baik itu meliputi keadilan, kebahagiaan, pahala serta ganjaran atau sorga dan neraka, seperti halnya hidayah atau petunjuk, maka itu adalah mutlak urusan Tuhan SWT. Dikisahkan, suatu ketika sahabat Salman Al-Fأ¢risأ® bercerita di hadapan Nabi SAW, dan juga para sahabat, tentang cara-cara ibadah masyarakat di kampung halamannya , orang Majusi, kaum penyembah api yang hidup di kawasan Iran. Setelah Al-Fأ¢risأ® selesai bercerita, Nabi SAW berkomentar, "Mereka masuk neraka". Atas komentar ini, turunlah ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shأ¢bi-أ®n, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu" (QS. 22:17). Juga turun ayat berikut : "Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'أ®n, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS. 2:62) Pada ayat tersebut telah dijelaskan, bahwasanya siapapun dan agama apapun, maka keputusan akhir pada Hari Kiamat ada pada Tuhan SWT. Baik itu orang Islam, Yahudi, Kristen bahkan Majusi dan Shabi'in. Kaum Majusi adalah penyembah api, sedangkan kaum Shabi’in adalah kaum yang berkeyakinan bahwa dunia ini ada Sang Pencipta Yang Maha Esa, namun mereka mengakui bahwa akal manusia tak mampu untuk mengenal atau memasuki wilayah sang pencipta ini, sehingga mereka mewakilkan komunikasinya dengan Tuhan melalui roh-roh suci. Roh-roh suci itu, masih dalam keyakinannya, bertempat di bintang, bulan dan lain sebagainya. Komunikasi itulah yang mereka lakukan, dan bukan menyembang bintang, bulan, malaikat dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip toleransi agama ini, yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah, telah dimiliki Islam, maka sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh —atau pendeta dan sebagainya— berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. Itu sudah menjadi kewajiban setiap pemimpin agama selama hal itu dilakukan dengan cara-cara yang bijak. Al-Qur'an berpesan, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. 16:125)

Senin, 16 November 2009

Beratnya Mendidik Anak

Sebagai orang tua, saya sungguh senang melihat perkembangan anak saya. Ada satu hal yang membuat saya bangga. Saat adzan berkumandang, walau tidak di semua waktu sholat, kedua anak saya sudah terkondisi untuk menyegerakan bersiap-siap berangkat ke masjid guna sholat berjamaah di masjid.

Adem terasa hati ini. Duh senangnya. Coba, hati orang tua mana yang tidak bangga melihat hal ini? Alhamdulillah, usaha dan kerja keras saya selama ini untuk mendidik anak-anak mulai kelihatan hasilnya. Walaupun tidak seberapa dan tidak dijamin ini akan langgeng. Tapi setidaknya hal ini akan terus memacu diri saya untuk terus dan terus membimbing anak-anak agar senantiasa menjalani apa yang selama ini mereka kerjakan.

Contoh atau teladan adalah kunci utama. Saya ingat salah satu nasehat,” Jika anda mengingankan anak anda rajin sholat berjamaah di masjid, mulailah dari diri anda dulu. Jika anda inginkan anak anda menjadi sholeh, maka sholehkan dulu diri anda. ”

Nasehat yang lain, “Jika anda menginginkan anak-anak yang sholeh, maka ibarat tanaman, maka semaikanlah bibit yang kau punyai di tempat yang subur. Jangan asal nemu.” Maka carilah ibu bagi anak-anakmu ibu yang berkualitas baik dari sisi bibit, bobot dan bebetnya. Terkhusus adalah dalam Agamanya. Mudah-mudahan Engkau akan selamat.”

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi inspirasi para orang lain dan para pendidik di persada dunia untuk bisa lebih baik lagi dalam mendidik anak-anak mereka. Mohon do’a dari anda semua, agar saya bisa tetap istiqomah dalam mendidik anak.

Askinas.web.id

Pesan Sang Udztadzah


Yoyoh Yusroh namanya. Perempuan sederhana yang punya segudang aktifitas. Anggota dewan yang punya 13 anak. Semuanya hafal Qur’an beberapa juz. Bahkan ada beberapa yang hafidz. Subhanallah. Ingin aku mengenalnya lebih dekat. Mendengarkan taujihnya dan pemikirannya. Ingin aku belajar banyak darinya. Bagaimana ya cara beliau membesarkan semua putra-putrinya yang sholeh/sholehah?

Aku mengeluh pada beliau,"Ibu, saya ga bisa banyak dengerin ibu nih.., sibuk di bazaar dan madrasah plus ngurusin anak-anak yang masih kecil-kecil", keluhku. "Ga papa,pahalanya sama," kata beliau menghiburku. "Ibu, boleh nanya ga?", tanyaku ketika berkesempatan duduk semeja dengannya. "Boleh", beliau menggeser kursinya tepat didepanku. "Anak saya pingin jadi pemain film atau penyanyi, gimana yah menyikapinya? Kalau saya bilang "no" terus, takutnya dia kecil hati…..". Beliau menjawab," Islam itu membolehkan kita untuk menjadi apa saja, termasuk penyanyi atau bintang film."

Hhhmmmh jawaban yang mengagetkanku,"Jadi boleh jadi penyanyi, ibu?", tanyaku meyakinkan…. "Iya, tentunya penyanyi lagu-lagu islami, atau kalo mau jadi pemain film, pemain film islami, kata beliau lagi. Jangan ditutupi keinginan-keinginan anak. "Anak saya kepingin jadi foto model", lanjut beliau lagi. "Dia selalu berpakaian modis, tapi selalu berjilbab", sambung beliau. "Jelaskan pada anak, dia boleh jadi apa saja yang diingininya asal tidak keluar dari batas syariat."

"Kalau memakai hijab, gimana Bu?", tanyaku lagi, mumpung nih pikirku. Sang udztadah menyarankan melatih anak memakai hijab dari kecil, agar ia tidak canggung memakai hijab setelah mencapai usia pubertas.

"Bu, bagaimana membuat anak menjadi amanah terhadap tanggung jawab?", ini pertanyaan ketigaku. Bu Yoyoh menyarankan untuk memberikan anak tanggung jawab yang kecil dulu. Contohnya, membereskan meja, mengangkat piring yang kotor, membereskan mainannya, dsb. Orangtua harus memberikan dorongan , jangan kritikan. Ajaklah anak untuk ngobrol, jangan menggurui. Ketika mengajak anak bicara, duduk disamping anak, jangan berhadapan. Jelaskan ekspetasi kita pada anak. Misalnya kita bilang, "mama pingin kamu jadi anak sholeh." Jangan lupa jelaskan apa ciri-ciri anak sholeh. Jangan cuma nyebut-nyebut anak sholeh tapi tidak diterangkan apa artinya anak sholeh itu. Jadi si anak punya misi yang jelas. Bukan menebak-nebak, apa sih maksudnya anak sholeh(ini khusus untuk anak-anakku yg masih berumur 7 tahun kebawah). Udztadzah juga berpesan untuk selalu mengajari anak kalimat tauhid "la ila ha ilallah" setiap hari. Anak-anak harus terbiasa mengucapkan kalimat ini setiap waktu.

Jazakallah khair udztadz atas nasehathatnya. Do’akan agar saya bisa menjadi orangtua yang baik, agar bisa membimbing anak-anak sholeh yang berkualitas menjadi pejuang deen yang sejati, InsyaAllah.

Jenis/Macam Tipe Pola Asuh Orangtua Pada Anak & Cara Mendidik/Mengasuh Anak Yang Baik

Setiap orang umumnya akan menikah dan memiliki anak. Anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga dan kita didik sedemikian rupa agar setelah mereka besar dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara serta dapar membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan kasih sayang.

A. Tipe-Tipe Pola Asuh Orang Tua Kepada Anak :

1. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya.

Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa.

Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.

2. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya.

Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya.

Anaka yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid / selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain. Namun di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.

3. Pola Asuh Otoritatif

Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya.

Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatip akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.

B. Beberapa Tips Cara Mendidik Anak Kita Yang Baik :

1. Baik ibu dan ayah harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plin-plan dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.

2. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain.

3. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Polas asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri.

4. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak.

5. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia.

6. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan.

7. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.

Demikian yang dapat disampaikan organisasi.org pada kesempatan kali ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.

10 Cara mengasah Talenta Anak

Membimbing Si Kecil memang gampang-gampang susah. Bila anak rewel, tentu akan membuat kening Anda berkerut, bukan? Asah talenta sebagai orangtua, dan jangan biarkan stres melanda!

1. Pentingnya Bercanda
Bagi sebagian orang, menjadi orangtua tampaknya mudah. Bermain bersama, merespons kebutuhan anak, mengerti perasaan anak, dan percaya kepada anak. Bagi sebagian lagi, diperlukan usaha lebih. Hal ini wajar saja, dan Anda pun pasti pernah mengalaminya. Anda bisa mengembangkan sifat-sifat lain untuk menjadi orangtua super seperti yang diinginkan.

2. Responsif & Kenali Kebutuhan Anak
Kunci dalam memberikan rasa aman pada anak-anak adalah dengan mengenali dan melengkapi kebutuhannya. Hal ini memang tak selalu mudah. Kebutuhan bayi sudah jelas: makan di saat mereka lapar, mengganti popoknya di saat basah, dan memeluknya di saat ia ingin berada di dekat Anda, dan perlihatkan dunia kepadanya di saat ia ingin tahu soal berbagai hal. Selanjutnya, kebutuhan anak yang lebih besar pasti akan lebih kompleks.

3. Temukan Keseimbangan Emosional
Tak mudah menemukan keseimbangan emosional pada saat Anda sedang diserang rasa marah, frustrasi, gelisah, atau tersinggung. Perasaan-perasaan ini mengganggu keseimbangan Anda, yang sebagai orangtua sudah cukup banyak menerima tantangan, dan harus dihadapi dengan tegar.

4. Mengerti & Empati
Di saat sedang mengamati perilaku Si Kecil lalu menduga kemungkinan perasaan yang ia rasakan, Anda akan berada di posisi yang lebih baik dalam mengembalikan segala hal pada jalurnya, soal bagaimana Anda dapat mengembangkan bakat dalam menyelami perasaan anak, mengerti dari mana asal perilakunya, dan melihat derita di balik masalahnya.

5. Refleksi Sikap Sebagai Orangtua
Untuk merefleksikan sikap sebagai orangtua sebaiknya Anda ‘flash back' atau berpikir mundur dan kembali pada keinginan awal, pada saat mulai menjadi orangtua. Dengan mengingat kembali tentang kehidupan seperti apa yang diinginkan akan dapat membantu Anda untuk menjadi orangtua yang lebih baik.

6. Resolusi: Memutuskan Ingin Jadi Orangtua Seperti Apa
Setiap orang pasti pernah mengalami rasa kehilangan, entah kehilangan orang tua, saudara, atau hilang kepekaan akan rasa aman karena dilecehkan atau ditolak semasa kecil. Anda mungkin tak kehilangan seseorang karena meninggal, tetapi kehilangan cinta dan perhatian dari orang yang dicintai pasti akan sangat sakit, depresi, dan stres. Semua jenis kehilangan bisa berdampak besar pada kemampuan Anda menjadi orangtua yang efektif.

7. Menerima Diri Sendiri & Berhenti Menyalahkan
Membiarkan mengkritik diri sendiri tak berarti mutu Anda sebagai orangtua menjadi hilang di depan anak. Tetapi melakukan segala hal yang itu-itu saja, tak akan membantu Anda dalam membimbing anak. Oleh karena itu, ubah pola asuh yang Anda terapkan! Temukan inoavsi baru yang sekaligus dapat memberi hiburan dan simpati di saat Anda sedang galau saat mengurus anak-anak dan rumahtangga.

8. Hubungan Baik
Pusatkan perhatian pada hubungan Anda dan pasangan agar lebih mudah dalam mendidik dan membimbing anak-anak bersama.

9. Jangan Ragu Minta Bantuan
Jarang ada orangtua mendapatkan dukungan yang cukup, baik secara praktis ataupun emosional, dalam kesenangan maupun keputusasaan. Bagaimana caranya agar Anda mudah mendapatkan dukungan? Lalu, siapa yang mendengar dan memberikan perhatian pada Anda, setelah seharian membimbing dan memerhatikan anak-anak? Jangan ragu, mintalah dukungan dari pasangan hidup Anda!

10. Kepercayaan: Hindari Rasa Khawatir
Lawan dari rasa khawatir bisa jadi rasa percaya, percaya pada perkembangan zaman, percaya dengan kemampuan Anda sebagai orangtua, dan percaya kepada pasangan dan anak-anak. Nikmati hidup dan jalani sesuai dengan kemampuan, tanpa kehilangan masa-masa indah bersama keluarga.

Kewajiban mendidik Anak Sholeh

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

(QS. Al Kahfi, 18 : 46)

Hadis Riwayat Imam Muslim, daripada Abu Hurairah r.a sabda Rasulullah s.a.w;

“Apabila mati anak Adam, maka terputuslah segala amalannya melainkan tiga perkara : Sedekah jariah, Ilmu yang bermanfaat dan Anak soleh yang mendoakan untuknya“.

Nama baik yang diberikan orang tua akan berpengaruh pada kepribadian anak. Membaca al-Qur’an dan menulis mengisyaratkann pada perkembangan intelektual anak. Berenang dan memanah mengisyaratkan akan perkembangan jasmani anak. Mencintai Nabi dan keluarganya, membaca al-Quran mengiyaratkan pada perkembangan religius dan sepiritual anak.

Amal shalih anak yang belum baligh, pahalanya akan menjadi miliknya pribadi bukan milik kedua orang tuanya atau orang lain. Tapi orang tuanya mendapat pahala atas usaha mereka dalam mengajari, membimbing dan mendorong anak untuk beramal shalih.

Adab-adab dan kiat dalam mendidik anak: [1] makan dengan tangan kanan, membaca basmalah, memulai dengan yang paling dekat dengannya dan tidak mendahului makan sebelum yang lainnya (yang lebih tua, red), [2] tidak tergesa-gesa dalam makan, [3] tidak bermewah-mewah dalam makan, Juga diajari agar tidak terlalu banyak makan dan memberi pujian kepada anak yang demikian, [4] agar mendahulukan orang lain dalam hal makanan dan dilatih dengan makanan sederhana, sehingga tidak terlalu cinta dengan yang enak-enak, [5] memakai pakaian berwarna putih, bukan warna-warni dan bukan dari sutera. Dan ditegaskan bahwa sutera itu hanya untuk kaumwanita, [6] Jangan sampai anak laki-laki menjulurkan pakaiannya hingga melebihi mata kaki, [7] dijaga dari bergaul dengan anak-anak yang biasa bermegah-megahan dan bersikap angkuh, [8] ditanamkan rasa cinta untuk membaca al Qur’an dan buku ….

Bapa dan ibu harus mengerti tujuan kita dihidupkan Allah di dunia ini, apa tugas dan kewajipan kita, dan apa jawapan kita nanti setelah kita dipanggil oleh Allah untuk mengadapNya. Tanpa memahami perkara-perkara ini, maka tidak mungkin akan lahirnya generasi yang bertaqwa, yang mampu memiliki kecemerlangan di dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Anak merupakan amanah dari Allah yang hendaklah dipelihara dan dibimbing sesuai dengan pesanan dan panduan syariat Allah dan RasulNya. Jika ini tidak dilaksanakan dengan betul.

Dalam membicarakan cara bagaimana mendidik anak, perhatikanlah pesanan pendidikan Luqman kepada anaknya di dalam Al-Quran. Ia meliputi pokok ajaran pendidikan yang mengandungi nilai-nilai tinggi yang antaranya: mencakupi asas pendidikan tauhid, akhlak, solat, pendidikan amr ma’ruf nahi munkar, bersikap tabah dan sabar serta kehidupan bermasyarakat.

Peringatan hari kelahiran termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak ada asalnya dalam syari’at yang suci, maka tidak boleh memenuhi undangannya karena hal itu merupakan pengukuhan terhadap bid’ah dan mendorong pelaksanaannya.

Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid’ah dalam agama Allah. Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan, yaitu: [1] Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya, Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, [2] Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah

Tanggungjawab ibu bapa mendidik anak-anak mematuhi ajaran Islam terutamanya sholat yang menjadi Rukun Islam kedua.

Sebagai ibu bapa, kita seharusnya melatih anak-anak menegakkan sholat. Caranya, ialah kita sendiri perlu menunjukkan contoh kepada anak-anak dalam kehidupan seharian.

Ibu bapa mesti menunjukkan contoh yang baik kepada anak-anak termasuklah dalam bab ibadat khusus seperti solat. Sepatutnya, kita sentiasa menseimbangkan pendidikan agama dan pendidikan akademik kerana kita mahu melahirkan anak yang cemerlang bukan sahaja di dunia tetapi juga di akhirat.

ibu bapa agar memberi lebih perhatian dalam bab fardu ain. Jangan melepaskan tanggungjawab itu kepada guru-guru agama atau ustaz dan ustazah sahaja. Analoginya, adalah lebih mudah bagi anak-anak meniru perbuatan ibu bapa yang menunaikan solat di rumah.

kesan solat bukan hanya terbatas kepada individu sahaja sebaliknya ia adalah sistem yang lengkap meliputi pendidikan umat yang komprehensif. Solat dengan pergerakan jasmani serta waktunya yang teratur amat bermanfaat kepada tubuh badan. Dalam segi kerohanian, zikir-zikirnya, bacaan-bacaan serta doa-doanya amat baik untuk melatih jiwa serta melentur emosi.

Orang yang beruntung adalah orang yang telah memberikan kebaikan untuk dirinya yang akan dia dapatkan simpanannya di sisi Allah. Dan orang yang celaka adalah orang yang yang memberikan kejelekan untuk dirinya yang akan mengakibatkan kesengsaraan.

terputusnya amalan seseorang itu dengan kematiannya, dan waktu untuk beramal adalah selama dia masih berada dalam kehidupannya.

Maka wajib bagi seorang muslim untuk berhati-hati dari sikap lalai dan membuang-buang waktu, dan hendaklah bersegera melakukan ketaatan sebelum datang kematian, tidak mengakhirkannya sampai waktu yang mungkin tidak bisa dia gapai.

amalan yang tak terputus: [shadaqah jariyah] Para ulama telah menafsirinya dengan wakaf untuk kebaikan, [ilmu yang bermanfaat] dengan cara seseorang mengajarkan ilmu kepada manusia perkara-perkara agama mereka, [anak shalih] Anak shalih baik laki-laki maupun perempuan, anak kandung maupun cucu, akan terus mengalir kemanfaatan mereka untuk para orang tua berkat doa baik yang diterima Allah untuk ibu bapak mereka. Juga shadaqah yang dilakukan anak-anak shalih untuk orang tua, juga hajinya, bahkan doa yang diucapkan orang yang pernah mendapatkan kebaikan dari anak-anak tersebut.

Hak-hak yang harus dipenuhi: [1] Memilih calon ibu yang baik, [2] Hendaknya kedua orang tua berdo’a dan merendahkan diri kepada Allah agar berkenan memberi rezki anak yang shalih kepada keduanya, [3] Memberi Nama Baik, [4] anak melihat dari orang tuanya dan dari masyarakatnya akhlak yang bersih, jauh dari hal yang merubah fitrah dan menghiasi kebatilan, baik akhlak yang dibenci itu berupa kekafiran atau bid’ah atau perbuatan dosa besar, [5] tumbuh bersih, suci, ikhlas dan menepati janji, dijauhkan dari orang-orang yang melakukan perbuatan syirik dan kesesatan, dan perbuatan bid’ah serta maksiat-maksiat, serta perbuatan-perbuatan yang memperturutkan hawa nafsu, [6] memerintahkannya untuk shalat di saat berumur 7 tahun, dan memukulnya lantarannya tidak mengerjakan shalat di saat berumur 10 tahun, serta memisahkan tempat tidur anak-anak mereka, [7] mengajari anak-anaknya untuk berenang, memanah dan menunggang kuda, [9] berlaku jujur, menepati janji dan berakhlak mulia, [10] mengajarinya petunjuk Rasulullah Shalllahu ‘alaihi wa sallam dalam makan dengan tangan kanan disertai dengan membaca basmalah dan makan makanan yang paling dekat, [10] bersikap adil dalam mendidik anak untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, [11] mendidik anak untuk memakan makanan yang halal …..

Ada 10 bentuk kesalahan yang sering dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya: [1]. Menumbuhkan rasa takut dan minder pada anak, [2]. Mendidiknya menjadi sombong, panjang lidah, congkak terhadap orang lain. Dan itu dianggap sebagai sikap pemberani, [3]. Membiasakan Anak-Anak Hidup Berfoya-foya, Bermewah-mewah Dan Sombong, [4]. Selalu Memenuhi Permintaan Anak, [6]. Terlalu Keras Dan Kaku Dalam Menghadapi Mereka, [7]. Terlalu Pelit Pada Anak-Anak, Melebihi Batas Kewajaran, [8]. Tidak Mengasihi Dan Menyayangi Mereka, [9]. Hanya Memperhatikan Kebutuhan Jasmaninya Saja, [10]. Terlalu Berprasangka Baik Kepada Anak-Anaknya.

Jika seorang ayah sibuk mendidik anak-anaknya sesuai yang diperintahkan Allah dan RasulNya, maka ia berada di atas jalan kebaikan yang besar. Anak-anak mendo’akannya di masa ayahnya masih hidup dan setelah kematiannya. Jika terjadi sebaliknya, mengenyampingkan tanggung jawab pendidikan anak-anak, maka dia berdosa dan anak-anak akan menjadi malapetaka bagi dirinya.

Perlunya Keteladanan dari Orang Tua

“Barang siapa yang memberikan contoh yang baik dalam Islam maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikitpun. Dan barang siapa yang memberikan contoh yang buruk didalam Islam maka baginya dosa atas perbuatannya dan dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang-orang yang mengikutinya” (HR Muslim)

Sungguh hadits ini mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam memberikan contoh, apalagi sebagai orang tua, kita dituntut lebih hati-hati. Sengaja atau tidak, ada efek negatif maupun positif. Kesalahan dalam membentuk karakter anak tanpa sengaja dapat terjadi dengan keteladanan yang buruk. Akibatnya bisa fatal, yaitu membentuk karakter yang rusak.

Memang banyak tips dan cara untuk mendidik anak, ada yang dengan metode A ada yang menyarankan dengan metode B. Namun, dari setiap metode-metode yang selama ini saya baca, keteladanan adalah metode yang jitu dalam pendidikan anak-anak di keluarga. Disini saya akan membahas fakta tentang pendidikan di rumah, pentingnya keteladanan dalam pendidikan, dan bagaimana orang tua agar mampu menjadi tauladan yang baik untuk anak

Pertama, cara mendidikan anak-anak dalam rumah. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan itu akan terbentuk hanya di sekolah-sekolah, jadi tidaklah perlu orang tua mengarahkan anak-anaknya dirumah. Bahkan ada sebagian orang tua yang tidak tahu tujuan dalam mendidik anak. Perlu kita pahami, bahwasannya pendidikan dirumah yang meskipun sering disebut sebagai pendidikan informal, bukan berarti bisa diabaikan begitu saja. Orang tua harus memahami bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan institusi pendidikan formal. Ini bisa dimengerti karena keluarga merupakan sekolah paling awal bagi anak. Di keluargalah seorang anak pertama kali mendapatkan pengetahuan, pengajaran dan pendidikan.

Selain itu, orang tua juga harus mengetahui apa tujuan mereka mendidik anak-anaknya, apakah hanya sekedar bisa survive di dunia ini ataukah menginginkan anak-anaknya menjadi generasi yang unggul. Tujuan utama pendidikan adalah untuk melahirkan generasi-generasi yang berkepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyyah), atau dengan kata lain, tujuan kita mendidik anak adalah untuk menjadikan mereka anak-anak yang sholeh/sholehah. Dan ini merupakan tugas utama sebagai orang tua. Setiap orang tua muslim pasti menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang sholeh/sholehah, karena mereka nanti adalah aset yang sangat berharga baik di dunia maupun diakherat. Di dunia mereka akan senantiasa patuh pada Allah dan kedua orang tuanya, dan bisa menjadi kebanggan keluarga, sedangkan di akherat nanti mereka akan menolong kedua orang tuanya, karena amalan yang tetap mengalir meskipun orang tua meninggal adalah doa anak sholeh/sholehah.

Kedua, pentingnya teladanan dalam mendidikan. Sebagaimana kita ketahui, Allah juga memberikan contoh-contoh Nabi atau orang yang bisa kita jadikan suri teladan dalam kehidupan atau peringatan agar kita tidak menirunya, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji” (Qs. al Mumtahanah [60]: 6)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 21)

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Luqman [31]: 12)

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” (Qs. al-Lahab [111]: 1)

Oleh karena itu, keteladanan dalam dunia pendidikan adalah sangat penting, apalagi kita sebagai orang tua yang diamanahi Allah berupa anak-anak, maka kita harus menjadi teladan yang baik buat anak-anak. Kita harus bisa menjadi figur yang ideal bagi anak-anak, kita harus menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini. Jadi jika kita menginginkan anak-anak kita mencintai Allah dan RosulNya maka kita sendiri sebagai orang tua harus mencintai Allah dan RosulNya pula, sehingga kecintaan itu akan terlihat oleh anak-anak. Akan sulit untuk melahirkan generasi yang taat pada syari’at jika kedua orang tuanya sering bermaksiat kepada Allah. Tidaklah mudah untuk menjadikan anak-anak yang gemar mencari ilmu Allah jika kedua orang tuanya lebih suka melihat televisi daripada membaca dan datang ke ceramah-ceramah, dan akan terasa susah untuk membentuk anak yang mempunyai jiwa pejuang dan rela memberikan segalanya untuk kepentingan Islam, jika bapak ibunya sibuk dengan aktivitas kerja meraih materi dan tidak pernah terlibat dengan kegiatan dakwah. Sebagai contoh, apa yang terjadi di Palestina, setiap generasi disana sejak kecil sudah menjadi mujahid, jiwa mereka sudah tidak ada rasa takut terhadap kematian dan mereka siap melakukan apa saja demi kejayaan Islam, ini semua karena orang tua mereka memberikan contoh nyata kepada mereka.

Disamping itu, tanpa keteladanan, apa yang kita ajarkan kepada anak-anak kita akan hanya menjadi teori belaka, mereka seperti gudang ilmu yang berjalan namun tidak pernah merealisasikan dalam kehidupan. Kita selalu mengajarkan agar anak kita mencintai Allah, namun kita sendiri lebih mencintai dunia…maka pengajaran tentang hal itu akan sulit untuk direalisasikan. Yang lebih utama lagi, metode keteladanan ini bisa kita lakukan setiap saat dan sepanjang waktu. Dengan keteladanan pengajaran-pengajaran yang kita sampaikan akan membekas dan metode ini adalah metode termurah dan tidak memerlukan tempat tertentu. Jadi…mampukan kita menjadi uswatun hasanah bagi anak-anak kita??

Untuk mampu menjadi uswatun hasanah, syarat utama adalah kita sebagai orang tua harus tahu Islam secara menyeluruh, bagi yang belum tahu Islam tidak ada kata terlambat, belajar Islam menjadi prioritas agar kita menjadi uswah yang ideal buat anak-anak. Islam adalah landasan yang ideal untuk membentuk suatu kepribadian, karena Islam adalah aturan yang menyeluruh bagaimana manusia hidup di dunia ini.

Khatimah

Mempunyai anak sholeh (anak yang berkepribadian Islam) adalah impian setiap orang tua, dengan keteladanan sepanjang masa adalah metode paling efektif. Orang tua juga harus mampu menjadi uswah yang baik buat anak-anaknya, namun janganlah lupa untuk selalu berdoa kepada Allah agar anak-anak kita menjadi sholeh/sholehah.

Keluarga Sakinah Mawaddah Warrohmah

Keluarga Sakinah Dalam Masalah
Oleh: Mochamad Ismail


Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang terjadi.

Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam masyarakat.

Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.

Makna Sakinah

Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.

Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.

Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.

Membangun Kenyamanan Keluarga

Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.

Lunturnya Semangat Sakinah

Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat tadi.

Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.

Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.

Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?

Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident) telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu. Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.

Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.

Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang tua.

Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.

Keluarga Sakinah Mawaddah Warrohmah

Memasuki dunia baru bagi pasangan baru, atau lebih dikenal dengan pengantin baru memang merupakan suatu yang membahagiakan. Tetapi bukan berarti tanpa kesulitan. Dari pertama kali melangkah ke pelaminan, semuanya sudah akan terasa lain. Lepas dari ketergantungan terhadap orang tua, teman, saudara, untuk kemudian mencoba hidup bersama orang – yang mungkin – belum pernah kenal sebelumnya. Semua ini memerlukan persiapan khusus (walaupun sebelumnya sudah kenal), agar tidak terjebak dalam sebuah dilema rumah tangga yang dapat mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Diantara persiapan yang harus dilakukan oleh pasangan baru yang akan mengarungi bahtera rumah tangga:
Persiapan mental. Perpindahan dari dunia remaja memasuki fase dewasa – di bawah naungan perkawinan – akan sangat berpengaruh terhadap psikologis, sehingga diperlukan persiapan mental dalam menyandang jabatan baru, sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga. Kalaupun sekarang anda telah terlanjur menyandang predikat tersebut sebelum anda sempat berpikir sebelumnya, anda belum terlambat. Anda bisa memulainya dari sekarang, menyiapkan mental anda lewat buku-buku bacaan tentang cara-cara berumah tangga, atau anda dapat belajar dari orang-orang terdekat, yang dapat memberikan nasehat bagi rumah tangga anda
engenali Pasangan. Kalau dulu orang dekat anda adalah ibu, teman, atau saudara anda yang telah anda kenal sejak kecil, tetapi sekarang orang yang nomor satu bagi anda adalah pasangan anda. Walaupun pasangan anda adalah orang yang telah anda kenal sebelumnya, katakanlah dalam masa pacaran, tetapi hal ini belumlah menjamin bahwa anda telah benar-benar mengenal kepribadiannya. Keadaannya lain. Masa pacaran dengan lingkungan rumah tangga jauh berbeda. Apalagi jika pasangan anda adalah orang yang belum pernah anda kenal sebelumnya. Disini perlu adanya penyesuaian-penyesuaian. Anda harus mengenal lebih jauh bagi pasangan anda, segala kekurangan dan kelebihannya, untuk kemudian anda pahami bagaimana sebaiknya anda bersikap, tanpa harus mempersoalkan semuanya. Karena sesungguhnya anda bersama pasangan anda hidup dalam rumah tangga untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya, sehingga tercipta keharmonisan.
Menyusun agenda Kegiatan. Kesibukan anda sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga tentunya akan lebih banyak menyita waktu di banding ketika anda masih sendiri. Hari-hari kemarin bisa saja anda mengikuti segala macam kegiatan yang anda sukai kapan saja anda mau. Persoalannya sekarang adalah anda tidak sendiri, kehadiran pasangan anda disamping anda tidak boleh anda abaikan. Tetapi anda tak perlu menarik diri dari aktifitas atau kegiatan yang anda butuhkan. Anda dapat membuat agenda untuk efektifitas kerja, anda pilah, dan anda pilih kegiatan apa yang sekiranya dapat anda ikuti sesuai dengan waktu yang anda miliki dengan tanpa mengganggu tugas anda sebagai ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga.
Mempelajari kesenangan pasangan. Perhatian-perhatian kecil akan mempunyai nilai tersendiri bagi pasangan anda, apalagi di awal perkawinan anda. Anda dapat melakukannya dengan mempelajari kesenangan pasangan anda, mulai dari selera makan, kebiasaan, hobi yang tersimpan dan lainnya. Tidak menjadi masalah jika ternyata apa yang disenanginya tidak anda senangi. Anda bisa mempersiapkan kopi dan makanan kesukaannya disaat pasangan anda yang punya hobi membaca sedang membuka-buka buku. Atau anda bisa sekali-kali menyisihkan waktu untuk sekedar mengantar pasangan anda berbelanja, untuk menyenangkan hatinya. Atau kalau mungkin anda bisa memadukan hobi anda yang ternyata sama, dengan demikian anda telah memasang saham kasih sayang di hati pasangan anda sebagai kesan pertama, karena kesan pertama akan selalu diingatnya. Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda (kayak iklan saja). Dan anda bisa menjadikannya sebagai kebiasaan yang istimewa dalam rumah tangga anda.
Adaptasi lingkungan. Lingkungan keluarga, famili dan masyarakat baru sudah pasti akan anda hadapi. Anda harus bisa membawa diri untuk masuk dalam kebiasaan-kebiasaan (adat) yang ada di dalamnya. Kalau anda siap menerima kehadiran pasangan anda, berarti pula anda harus siap menerimanya bersama keluarga dan masyarakat disekitarnya. Awalnya mungkin anda akan merasa asing, kaku, tapi semuanya akan terbiasa jika anda mau membuka diri untuk bergaul dengan mereka, mengikuti adat yang ada, walaupun anda kurang menyukainya. Sehingga akan terjalin keakraban antara anda dengan keluarga, famili dan lingkungan masyarakat yang baru. Karena hakekat pernikahan bukan perkawinan antara anda dan pasangan anda, tetapi, lebih luas lagi antara keluarga anda dan keluarga pasangan anda, antara desa anda dengan desa pasangan anda, antara bahasa anda dengan bahasa pasangan anda, antara kebiasaan (adat) anda dengan kebiasaan pasangan anda. Dst.
Menanamkan rasa saling percaya. Tidak salah jika suatu saat anda merasa curiga dan cemburu. Tetapi harus anda ingat, faktor apa yang membuat anda cemburu dan seberapa besar porsinya. Tidak lucu jika anda melakukannya hanya dengan berdasar perasaan. Hal itu boleh saja untuk sekedar mengungkapkan rasa cinta, tetapi tidak baik juga kalau terlalu berlebihan. Sebaiknya anda menanamkan sikap saling percaya, sehingga anda akan merasa tenang, tidak diperbudak oleh perasaan sendiri. Yakinkan, bahwa pasangan anda adalah orang terbaik yang anda kenal, yang sangat anda cintai dan buktikan juga bahwa anda sangat membutuhkan kehadirannya, kemudian bersikaplah secara terbuka.
Musyawarah. Persoalan-persoalan yang timbul dalam rumah tangga harus dihadapi secara dewasa. Upayakan dalam memecahkan persoalan anda mengajak pasangan anda untuk bermusyawarah. Demikian juga dalam mengatur perencanaan-perencanaan dalam rumah tangga, sekecil apapun masalah yang anda hadapi, semudah apapun rencana yang anda susun. Anda bisa memilih waktu-waktu yang tepat untuk saling tukar pikiran, bisa di saat santai, nonton atau dimana saja sekiranya pasangan anda sedang dalam keadaan bugar.
Menciptakan suasana Islami. Suasana Islami ini bisa anda bentuk melalui penataan ruang, gerak, tingkah laku keseharian anda dan lain-lain. Sholat berjama’ah bersama pasangan anda, ngaji bersama (tidak perlu setiap waktu, cukup habis maghrib atau shubuh), mendatangi majlis ta’lim bersama dan memnbuat kegiatan yang Islami dalam rumah tangga anda. Hal ini akan menambah eratnya ikatan bathin antara anda dan pasangan anda. Dari sini akan terbentuk suasana Islami, Sakinah, Mawaddah wa Rahmah. Insya’allah.

Suami Yang Sholeh

Kriteria suami yang shaleh adalah suami yang selalu berusaha melaksanakan seluruh kewajiban secara baik dan bertanggung jawab. Apabila Anda bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban berikut, Insya Allah Anda akan menjadi suami yang shaleh. Adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah,

  1. Memberikan nafkah lahir berupa sandang, pangan, dan papan sesuai kemampuan,
  2. sebagaimana firman Allah swt.,

    “Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (isteri) dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)

    “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (Q.S. Ath-Thalaaq 65: 6)

  3. Memberikan nafkah batin

  4. Salah satu kebutuhan manusia adalah terpenuhinya hasrat biologis. Hubungan biologis akan menjadi perekat pernikahan apabila dilakukan atas dasar saling membutuhkan dan dilakukan dengan cinta. Allah swt. menetapkan bahwa suami berkewajiban memenuhi nafkah batin isteri.

    “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Q.S. Al Baqarah: 223)

    Ayat ini sifatnya perumpamaan, Allah swt. mengumpamakan istri bagaikan kebun tempat bercocok tanam sementara suami diumpamakan sebagai orang yang akan menanam benih, maka datangilah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki. Ayat ini menegaskan bahwa dalam melakukan hubungan intim, gaya apapun boleh dilakukan asal keduanya (suami-isteri) merasa nyaman. Yang dilarang hanya satu, yaitu tidak boleh melakukan hubungan intim lewat dubur sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ahmad dan Ash Habus-Sunan dari Abu Hurairah.

    “Terlaknatlah laki-laki yang mendatangi perempuan pada duburnya.”

  5. Memberi Bimbingan pada Keluarga

  6. Suami mempunyai status sebagai pemimpin dalam keluarga, karenanya ia berkewajiban memberi nafkah lahir, batin, dan memberi bimbingan agama kepada istri dan anaknya.

    “Kaum laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri), oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (suami) atas sebagian yang lain (istri), dan karena mereka (suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. An-Nisaa 4: 34)

    “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Q.S.Thaahaa: 132)
  7. Memperlakukan istri secara baik dan menjaga perasaannya
    Rasulullah saw. menilai bahwa suami yang terbaik baik adalah yang paling baik pada istrinya


  8. “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaqnya, dan sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu.” (H.R. Tirmidzi)

    “...dan bergaullah dengan mereka secara baik...” (Q.S. An-Nisaa :19)


    “Hendaklah kamu (suami) memberi makan istri apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian kepadanya bila engkau berpakaian, dan jangan engkau pukul mukanya, dan jangan engkau jelekkan dia, dan jangan engkau jauhi melainkan di dalam rumah.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, dan yang lainnya)

Apabila empat kewajiban ini Anda kerjakan dengan sebaik-baiknya, insya Allah Anda akan menjadi suami yang ideal bagi istri dan menjadi ayah yang jadi kebanggaan anak-anaknya. Semoga! Wallahu A'lam.

sumber :Ust. Aam Amirudin (pimpinan yayasan percikan iman, Bandung)

Bersediakah jika diberi Suami sholeh

"Semoga Aku dikaruniai suami yang Sholeh yang bisa membimbingku didunia dan akherat".

Jawaban seperti ini sering terdengar meluncur ringan dari seorang gadis yang akan berumah tangga ataupun pengantin baru. Kebanyakan wanita juga ketika diajukan pertanyaan mengenai jodoh ia mengatakan ingin suami yang Sholeh.

Tapi apakah suami seperti itu yang benar- benar di dambakan oleh seorang wanita dalam kehidupan rumah tangganya ?

Karena doanya sudah di makbulkan Allah, serta mendapat doa juga dari rekan² serta keluarganya, maka menikahlah si gadis ini dengan seorang lelaki yang sholeh
.

Seorang lelaki sholeh amat takut kepada Allah, salah satu bukti ketakutannya ialah dalam hal mengerjakan sholat. Jadi lelaki soleh akan menyuruh malah kadang memaksa sang sstri untuk sholat,. Tetapi ada istri yang malas sholat, Nah..padahal sebelum menikah dia inginkan lelaki yang sholeh yang membimbing dia dunia dan akherat.

Ketika si istri sedang lelap tidur malam hari, sang suami sholeh membangunkan dia untuk sama sama sholat Tahajjud.

" Ada apa abang ini..!, saya masih ngantuk, Abang sholatlah sendiri"
Lupa sudah si istri dengan keinginannya dulu, di ajak sholat tahajud malah marah -marah.

Lelaki yang sholeh amat takut kepada murka Allah. Islam mewajibkan wanita tutup aurat,jadi suami sholeh tidak akan membenarkan istrinya keluar rumah atau mengenakan pakaian sesuka hati, atau berhias serta bermake-up tebal. Tetapi sang istri kurang senang dengan peringatan suami tentang hal ini.

Suami sholeh yang anda idam-idamkan yang akan membimbing anda dunia akherat telah anda bantah perkataannya.

Suami yang sholeh tidak akan duduk di rumah saja, berada di bawah ketiak istri sepanjang hari, karena dia tahu Jihad Fi Sabillah adalah agenda utama dari hidup seorang lelaki sholeh.
Dia akan senantiasa berada diluar rumah berjuang untuk agamanya serta berjuang untuk mencari rezeki yang halal, sehingga terkadang bisa pulang larut malam.
Kadang wanita tidak suka hal seperti ini, padahal doanya dulu ingin mendapat lelaki yang sholeh.

Sebagai lelaki sholeh di akan menjadikan Masjid sebagai rumah kedua dalam hidupnya, nah..., sang istri sering melngeluh, "Ke Mesjid lagi ke Mesjid lagi, ngapain di sana sih ?"

Lelaki sholeh amat taat kepada kedua orang tuanya, malah baktinya kepada ibunya melebihi kepada istrinya, hal ini sering terjadi dan membuat seorang istri cemburu, dan marah -marah.
padahal doanya ingin dapat suami yang sholeh.

Lelaki yang sholeh juga tidak suka hidup bermewah-mewah, uangnya yang banyak dihabiskan dalam amal dan perjuangan agama, diapun takut menerima suap/sogokan dan segala macam uang haram , jadi dia tidak bisa memberi barang- barang mewah seperti rumah yang besar, mobil yang mewah dan perhiasan yang banyak kepada istri dan keluarganya.

Dalam keadaan seperti ini ada sang istri yang tak suka.
Jika dia dulu inginkan suami yang sholeh maka setelah dapat dia tak suka dengan pola hidupnya.

Lelaki yang sholeh akan menjauhkan diri dari maksiat , maka dia akan melakukan perkara yang halal saja. Salah satu perkara yang halal adalah memiliki empat sstri ( dengan syarat dan ketetapan Syariah bisa dipenuhi ). Nah..lagi lagi perkara ini membuat banyak para sstri sangat berpantang, malah akan membenci suaminya yang kawin lagi.
Bukankah anda dulu berdoa agar dapat lelaki yang sholeh ?

Menyimak hal- hal diatas, maka banyak sekali masalah -masalah yang tidak di sukai seorang istri ketika dia mendapat suami seorang yang sholeh, padahal dulu selalu berdoa agar mendapt suami yang sholeh.


Timbul pertanyaan sekarang, kalau mendapat suami yang tidak sholeh atau yang biasa- biasa saja, apakah akan membawa kebahagiaan ?

Dunia ibarat air laut, ketika kita meminumnya maka kita akan semakin haus. Dunia juga tidak kekal, susah-senang, lapang-sempit, bahagia-sengsara...semuanya tak ada yang abadi.

Dunia seperti bayang bayang saja, dilihat ada tetapi ketika hendak di tangkap hilang dia.

Mencari kebahagian yang kekal abadi bukan di dunia tempatnya. Dunia adalah ladang untuk tempat menanam, akan di panen bila tiba masanya.
Mati dan masuk kubur adalah saat memanen segala amalan ketika di dunia. Kubur bisa menjadi pintu surga ataupun menjadi lubang dari lubang lubang neraka, siapa masuk tak bisa kembali lagi.

Hanya ada dua pilihan ke dalam surga atau ke dalam neraka.

Berbekal niat yang lurus, hati yang ikhlas serta langkah yang istiqomah, mari kita lewati masa-masa di dunia ini dengan penuh ketakwaan, karena Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan semua tentang dunia dan akherat kepada manusia.

Berbahagialah mereka yang menjalani hidup ini sesuai dengan perintah dan larangan-Nya.
Semoga kita tidak terperdaya dengan sesuatu yang semu.

Dan bagi para calon istri, jangan ragu untuk selalu berdoa,..

"Ya Allah berilah saya seorang suami yang sholeh yang sekiranya dapat membimbing saya dalam perkara dunia apalagi dalam perkara akhirat,
Ya Allah kabulkanlah doa hambamu ini,..
Amiiin. "

Kiat Sukses Menjadi Suami Sholeh

Jika ada seorang istri yang sholehah yang selalu memperhatikan, melayani suami dengan segala kebaikan. Ia juga selalu menuruti segala perintah dan memenuhi keinginan sang suami dengan kepatuhan yang sempurna. Menjaga ibadahnya dan selalu mengingatkan suami untuk berlomba mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Ia menjadi istri yang manis dan selalu hangat disamping suaminya, serta menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Tidak banyak menuntut dan menerima dengan rasa syukur apapun dan seberapapun rezeki yang didapat suami.

Bukankah tidak ada alasan lagi bagi sang suami untuk tidak membalasnya dengan menjadi suami yang sholeh, penuh perhatian dan kasih sayang. Demikian beberapa kiat untuk menjadi suami yang sukses :

  1. Mencukupi kebutuhannya dengan nafkah yang halal dan baik. Salah satu tugas suami adalah memberi nafkah kepada istri dan keluarganya, tentunya nafkah yang baik lagi halal, dan tidak berlebih-lebihan yang dapat membuat istri dan keluarga hidup mewah, boros dan sombong. Berilah nafkah yang wajar sesuai dengan kemampuan, namun tetap bersungguh-sungguh mencari nafkah sebagai bentuk tanggungjawab sebagai suami.
  2. Berdandanlah untuk istri anda, selalu bersih dan wangi. Sesering apakah kita tampil didepan istri dengan pakaian ala kadarnya? Sama halnya dengan suami yang menginginkan istrinya kelihatan manis untuknya, setiap istri juga menginginkan suaminya berdandan untuknya.Sebagai contoh, ingat, bahwa Rasulullah SAW selalu menggosok giginya terlebih dahulu sebelum menemui istrinya setelah bepergian. Beliau juga selalu menyukai senyum yang paling manis.
  3. Panggilah istri anda dengan nama yang ia sukai. Rasulullah SAW mempunyai nama panggilan untuk istri-istrinya yang sangat mereka sukai. Panggilah istri anda dengan nama yang paling indah baginya dan hindari menggunakan nama-nama yang menyakitkan perasaan mereka.
  4. Jangan memperlakukan seorang istri seperti lalat. Kita tidak pernah menghiraukan seekor lalat didalam kehidupan kita sehari-hari, tahu-tahu dia menjadi penyakit buat kita. Sama halnya seorang istri yang berbuat baik sepanjang hari, jika tidak pernah mendapat perhatian dari suaminya, maka dia juga akan memperlakukan suaminya bagai sebuah penyakit. Jangan sekali-kali perlakukan dia seperti ini; kenali semua kebaikan yang dia lakukan dan pusatkan perhatian padanya.
  5. Jika anda melihat kekurangan istri anda, tegur dengan lemah lembut!. Ini adalah cara bijak yang juga dianjurkan Rasulullah SAW. Terkadang istri kita memasak kurang sesuai dengan kesukaan atau selera kita, atau cara berdandannya kurang baik atau berlebih-lebihan. Ketika terhadap suaminya, ia berdandan semaunya, tetapi ketika bepergian dandanannya menor membuat orang lain memandanginya. Maka sepantasnya kita memberitahu dengan sikap yang lemah lembut dan menggunakan bahasa yang tidak menyinggung perasaannya. Termasuk jika melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan istri-istri kita. Ini adalah teknik bagi seorang muslim sebagai kepala rumah tangga.
  6. Tersenyum untuk istri anda kapan saja anda melihatnya. Senyuman adalah shodaqoh dan istri anda termasuk ummat muslim juga. Bayangkan hidup dengannya dengan senyum yang selalu tersungging. Ingatlah, sunnah juga menerangkan bahwa Rasulullah SAW selalu mencium istrinya sebelum pergi sholat ke masjid.
  7. Berterimakasihlah untuk semua yang dia lakukan untuk anda. Sekecil apapun yang istri anda lakukan buat anda, jangan sekali-kalli menganggapnya sebagai hal sepele, Berterimakasihlah, karena ucapan terimakasih anda sungguh berarti bagi istri anda dan akan terukir indah dihatinya. Ambil contoh, ucapkan terimakasih ketika usai makan malam yang dia sediakan. Juga untuk kebersihan rumah dan selusin pekerjaan lainnya.
  8. Mintalah padanya untuk menulis sepuluh perbuatan terakhir yang telah anda lakukan untuknya yang membuat dia senang. Kemudian pergi dan lakukan itu kembali. Mungkin agak sulit untuk mengenali apa yang membuat istri anda senang. Anda tidak perlu untuk bermain tebak-tebakkan, tanyakan padanya dan kerjakan secara berulang-ulang selama hidup anda.
  9. Jangan kecilkan keinginannya. Hiburlah dia. Kadang-kadanga seorang suami perlu mengabulkan permintaan istrinya. Rasulullah SAW memberikan contoh buat kita dalam sebuah kejadian ketika Safiyyah radhiyallahu ‘anha menangis karena dia (Safiyyah) berkata bahwa beliau (Rasulullah) memberikan sebuah unta yang lamban. Rasulullah pun menyapu air matanya, menghiburnya, dan membawakannya sebuah unta yang lain. Tentulah pemberian yang secukupnya sesuai dengan kemampuan kita.
  10. Penuh humor dan bermain-mainlah dengan istri anda. Lihatlah betapa Rasulullah SAW pernah bertanding lari dengan istrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha di sebuah padang, dan membiarkan Aisyah memenangkannya. Kapan saat terakhir kita melakukan hal seperti itu?
  11. Ingatlah selalu sabda Rasulullah SAW: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang memperlakukan keluarganya dengan baik. Dan aku adalah yang terbaik memperlakukan keluargaku”. Cobalah yang terbaik. Sebagai kata akhir: Jangan pernah lupa berdo’a kepada Allah Azza wa Jalla, agar membuat pernikahan anda bahagia.

Suami Sholeh,harta yang paling berharga

Buat seorang wanita, harta yang paling berharga didalam hidup ini adalah seorang suami yang sholeh. Kepadanyalah, seorang istri akan merasakan kebahagian didalam hidupnya dan diakhirat kelak, keberuntunganlah yang akan diterima seorang istri, jika dia mempercayakan hidupnya, memberikan segala cinta, perhatian, dan kasih sayangnya kepada suami yang sholeh. Karena didirinyalah, seorang istri akan mendapatkan apa yang didambanya: Ketenangan, keteduhan, kedamaian, perlindungan dan cinta serta sayang.

Suami yang sholeh adalah seorang yang bisa membahagiakan istri dan anaknya, serta keluarganya baik di dunia ini ataupun di akhirat kelak. Seorang suami yang sholeh tidak akan memberi makan istri dan anak-anaknya kecuali dengan harta yang halal.

Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Dan istri adalah amanah yang diberikan kepada seorang laki-laki yang menjadi suaminya.

Suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu memperlakukan istri dan anaknya dengan sifat-sifat yang terpuji, seorang suami yang sholeh akan selalu memperlakukan istrinya dengan sabar, sabar dengan setiap kesalahan-kesalahan istrinya, dan memperlakukan istrinya dengan kelembuatan dan penuh maaf saat istri dipenuhi dengan emosi dan kemarahan.

Suami yang sholeh adalah suami yang mampu menjadi pemimpin didalam rumah tangganya. Seorang suami bagaikan pemerintah didalam rumah tangganya, seorang suami yang sholeh adalah yang mampu memperhatikan hak dan kepentingan rakyatnya didalam pemerintahan yang dipimpinnya, dalam hal ini adalah istrinya.

Seorang suami yang sholeh akan selalu mampu bersikap bijaksana didalam tindakannya, menghargai pendapat istrinya, dan jika terjadi perbedaan pendapat dengan istrinya, dengan sikap terpuji dan penuh cinta kasih menghargai pendapat sang istri, serta mencari titik temu bersama dalam kerangka yang diperintahkan oleh alloh dan mejauhi segala yang dilarang oleh alloh.

Seorang suami yang sholeh akan selalu mampu menjadi teladan terpuji buat istri dan anak-anaknya. Mampu menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan mendidik diri, istri, dan anak-anaknya untuk menapaki jalan-jalan yang menuju keridloan Alloh.

Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu membuat dirinya, istrinya dan anak-anaknya mencintai ilmu, menguasai ilmu dan mampu mengamalkannya, menjadikan ilmu yang diperolehnya itu bermanfaat bagi bangsa, negara, dan agamanya.

Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang mampu membuat istrinya dan anak-anaknya tumbuh, dan berkembang menjadi pribadi yang luar biasa serta menapaki tangga-tangga sukses di dunia ini dan akhirat kelak.

Seorang suami yang sholeh adalah seorang suami yang akan selalu menjaga istri dan anaknya dari api neraka.

Hak-hak Suami atas Istri

Hak-hak suami yang wajib dipenuhi istri banyak sekali dan sangat agung. Begitu agungnya sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: "Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya." (HR Abu Daud dan Al-Hakim). Bahkan bagaimana seorang istri memenuhi hak suaminya bisa menjadi penentu nasibnya di akhirat kelak, sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Perhatikanlah selalu bagaimana hubungan engkau dengan suamimu, karena ia adalah surgamu dan nerakamu” (Shahih. Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ath Thabrani).

Terhadap suaminya, seorang istri harus menjalankan etika-etika berikut ini:

1. Taat kepada suami selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta‘ala

Seorang istri wajib menta’ati suami Firman Allah Ta‘ala, "Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).

2. Menjaga kehormatan suaminya, kemuliaannya, hartanya, anak-anaknya, dan urusan rumah tangga lainnya

Firman Allah Ta'ala, "Maka wanita-wanita yang shalihah ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)." (An-Nisa': 34).

Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, "Seoranq istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anaknya." (Muttafaq Alaih).

Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, "Maka hak kalian atas istri-istri kalian ialah hendaknya orang-orang yang kalian benci tidak boleh menginjak ranjang-ranjang kalian, dan mereka tidak boleh memberi izin masuk ke rumah kepada orang orang yang tidak kalian sukai." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

3. Tetap berada di rumah suami, dalam arti, tidak keluar kecuali atas izin dan keridhaannya, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, menjaga tangannya dari kejahatan, dan menjaga mulutnya dari perkataan kotor yang bisa melukai kedua orang tua suaminya, atau sanak keluarganya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (Al-Ahzab: 33).

"Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Al-Ahzab: 32).

"Allah tidak menyukai ucapan buruk." (An-Nisa': 148).

"Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya'." (An-Nuur: 31).

Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, "Wanita (istri) terbaik ialah jika engkau melihat kepadanya, ia menyenangkanmu. Jika engkau menyuruhnya, ia taat kepadamu. Jika engkau pergi darinya, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan menjaga hartamu." (HR Muslim dan Ahmad).

Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, "Kalian jangan melarang wanita-wanita hamba-hamba Allah untuk pergi ke masjid-masjid Allah. Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid, engkau jangan melarangnya." (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi).

Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam, "Izinkan wanita-wanita pergi ke masjid pada malam hari."

Ciri Istri Sholehah

Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya.

Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, amanah. Rasulullah bersabda, ''Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang shalehah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu ...'' (HR Hakim).

Ketiga, istri shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenangan berpikir dan berperasaan bagi suaminya. Allah SWT berfirman, ''Di antara tanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia menciptakan pasangan untuk diri kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu dapat memperoleh ketenangan bersamanya. Sungguh di dalam hati yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.''(QS Ar Rum : 21).

Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.'' (HR Thabrani dan Hakim).

Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita, para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi 'yang terbaik', sementara kita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imam ideal bagi keluarga kita masing-masing.